streetSMART

im Loving a PubLic Relatoins,.,

5.07.2010

10 FAKTOR DALAM MERANCANG JURNAL INTERNAL (HOUSE JURNAL)


Cakupan Pembaca

Dalam hal ini, sebuah jurnal harus menyediakan berita/informasi/pesan yang bisa diterima oleh berbagai macam kalangan dengan jurnal yang berbeda-beda. Pembaca akan tertarik untuk membaca hal yang ia minati yang tentu saja sesuai dengan kebutuhannya. Misalnya, para pengusaha tidak akan tertarik membaca majalan Gadis, ia lebih tertarik membaca suratkabar Kompas, atau Bisnis.

Kuantitas

Besar kecilnya suatu jurnal yang diterbitkan akan mempengaruhi kualitas yang ada dalam jurnal tesebut, baik metode-metode produksi, atau pun kandungan materi yang ada di dalamnya.

Frekuensi

Berapa seringnya jurnal diterbitkan? Tentu saja jurnal mempunyai tanggal, hari, bulan tersendiri dalam menerbitkan hariannya. Ada jurnal yang diterbitkan secara harian, mingguan, bahkan bulanan. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan dalam merancang sebuah jurnal.

Kebijakan

Kebijakan dalam hal ini, menyangkut tujuan diterbitkannya jurnal tersebut. Hal ini tidak akan lepas dari sesuatu yang sudah terjadi. Maka dari itu, dalam membuat jurnal, seorang PR tentu saja punya tujuan tertentu untuk mencapai tujuan khalayak dalam memperoleh pesan yang dikemas.

Judul

Dalam pemilihan judul, kita benar-benar harus membuat sesuatu yang berbeda dan mencolok. Tentu saja, judul tersebut tidak boleh lepas dari tujuan yang kita paparkan sebelumnya. Pemilihan judul harus menjadi suatu yang konsisten, karena untuk memopulerkan jurnal tersebut, maka judul dari jurnal tidak boleh berubah-ubah. Pemilihan judul yang tepat dan sesuai akan lebih menarik perhatian khalayak dan bertahan lama.

Proses Percetakan

Dalam proses percetakan harus diperhatikan beberapa hal, bagaimana jurnal itu dicetak, memakai mesin seperti apa? dan harus menentukan pilihan berdasarkan beberapa faktor penting seperti : format jurnal, jumlah halaman, pemakaian warna, jumlah gambar atau foto, kualitas percetakan yang dibutuhkan, perlu tidaknya teknik topografi digunakan.

Gaya dan Format

Disini juga kita perlu memilih secara benar tentang format yang akan ditampilkan dalam jurnal tesebut. Apakah hitam putih atau berwarna? Bagaimana dengan tulisannya? Tentu saja dengan gaya dan format yang telah dirancang sedemikian rupa harus menarik khalayak untuk membaca apa yang sudah kita kemas dalam jurnal. Maka dari itu, tampilan yang menarik menjadi perhitungan yang paling utama untuk mengundang khalayak menggunakan sensasinya dalam pemilihan jurnal.
Dijual atau dibagikan secara Cuma-cuma
Jika jurnal tesebut sudah menjadi suatu media yang besar dan dibutuhkan serta dicari oleh khalayak, maka jurnal tesebut pasti mempunyai harga. Jika jurnal tesebut hanya berupa poster kecil yang ditempel dimana-mana, maka nilai jualnya tidak ada atau bisa dibagikan secara Cuma-cuma, namun yang terkandung di dalamnya adalah nilai pesan.

Iklan

Jika jurnal tesebut sudah terkenal, biasanya banyak sekali iklan yang menampilkan produknya dalam jurnal tesebut. Iklan juga bisa menambah penampilan jurnal menjadi semakin menarik. Dengan iklan-iklan pribadi dan gratis juga menjadi cara ampuh untuk meningkatkan minat baca pada jurnal tesebut.

Distribusi

Dalam mendistribusikan jurnal tesebut, maka ada beberapa alternatif, misalnya dengan pos, dari tangan ke tangan, di jual di toko buku/tukang koran, tempat-tempat tertentu, dan lain-lain. Biasanya dengan cara pos menjadikan hal yang paling praktis dalam distribusi jurnal. Namun membutuhkan uang tambahan untuk menggaji para loker koran tersebut.

SPESIALISASI PUBLIC RELATION



  Para petugas Public Relation (PR) dewasa ini banyak dipekerjakan di berbagai bidang karena itu pendekatan pemecahan masalah diarahkan dan diterapkan pada masalah-masalah yang bertalian dengan komunikasi, pekerjaan di bidang-bidang tertentu yang menghadapkan para praktisi dengan maslah-masalah dan tanggung jawabnya yang khusus.

Public Relation (PR) terbagi menjadi dua spesialisasi, yaitu :
  1. Public Relation Komersial

Pada bagian ini akan dibahas mengenai PR perusahaan. Adapun tugas-tugas pokok dari PR perusahaan adalah :
  1. Mengevaluasi kekuatan dan kelemahan perusahaan, baik perusahaan sendiri maupun perusahaan saingan, juga ancaman dan peluangnya; Mendiagnosis masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui saran-saran PR; Mengindentifikasi masyarakat yang dituju dan saluran-saluran yang paling efektif digunakan untuk menjangkau mereka.
  2. Memberi nasihat kepada pihak manajemen di semua tingkatan, terutama mengenai perkembangan intern dan ekstern, yang mungkin dapat mempengaruhi reputasi perusahaan dalam hubungannya dengan kelompok-kelompok lain yang menjadi sasaran komunikasi perusahaan tersebar.
  3. Menjadi ahli depositor karena itu harus mengetahuisemua aspek komunikasi perusahaan, baik intern maupun ekstern.
  4. Membuat kontak dengan para pengambil keputusan ekstern yang penting.
  5. Memastikan arus informasi yang efektif untuk kelompok-kelompok masyarakat yang terpikih, guna memanfaatkan saluran-saluran komunikasi yang cocok buat mereka.
  6. Membentuk komisi-komisi riset untuk proyek-proyek khusus, agar dapat menentukan dan memperkirakan situasi dan masalah, atau mengukur efektifitas program-program dari PR yang telah dilaksanakan.
  7. Mengevaluasi masalah-masalah dan aktivitas PR, sehingga dapat memberikan laporan-laporan yang teratur kepada pihak manajemen.
  8. Merencanakan dan memanajemen kegiatan-kegiatan delegasi perusahaan.
  9. Membantu bagian-bagian lain dengan menganalisis masalah-masalah komunikasi, menulis dan menerbitkannya, memberikan keterangan baik dengan audio-visual maupun saran-saran pendukung lain serta bekerja sama untuk menanggulangi masalah-masalah yang telah ditentukan.
  10. Memastikan seluruh organisasi dan tidak melakukan suatu tindakan yang dapat mencemarkan nama baik organisasi.

Seorang PR perusahaan dituntut memiliki keterampilan manjemen yang sangat luas sebab ia senantiasa memberi nasihat kepada semua tingkatan manajemen, karena itu PR membutuhkan pengetahuan yang menyeluruh mengenai struktur, praktek dan pelaporan organisasi. Juga teknologi perusahaan, tenaga kerja dan sasaran bisnisnya. Oleh karena itu PR dituntut untuk selalu memonitor dan melaporkan setiap perkembangan yang terjadi di luar dan didalam perusahaan.

Seorang manajer PR harus menetapkan suatu kombinasi dari bantuan ekstern dan intern. Yang dapat memperhitungkan apa yang harus dilakukan dan sumber apa saja yang tersedia. Beberapa tugas tertentu di harapkan dapat di tangani oleh bagian PR perusahaan. Maka tidaklah menherankan jika dalam perusahan besar terjadi tingkat spesialisasi, sehingga pekerjaan dapat di bagi dalam beberapa cara.

Spesialisasi Public Relation Keuangan

Public relation keuangan dan finansial yang efektif dapat meningkatkan nisbah penghasilan dari harga yang disdiakan perusahaan. Hubungan itu dapat memastikan bahwa harga merupakan bagian yang mencerminkan kekuatan perusahaan dan prospek masa depannya, seta dapat melindungi perusahaan dari kemelut.

Lembaga-lembaga penanaman modal dan perusahaan yang mau diambil alih akan menuntut informasi yang up-to-date. Dalam persaingan tender PR keuangan yang efektif akan memberi perbedaan yang berarti antara keterkaitan dan kegagalan.

Seorang manajer PR yang mengambil spesialisasi dalam pekerjaan keuangan membutuhkan keahlian tambahan, yakni:
    1. Hukum perusahan, perbankan dan keuangan, syarat-syarat masuk pasar modal dan bursa sedian, prosedur merjer dan penawaran, akuntansi dan kegiatan-kegiatan lembaga.
    2. Praktek kamar-dagang dan tanggung jawab direktur, agar dapat bertindak secara efektif sebagai penasihat yang terpercaya.
    3. Cara atau adat istiadat kota, baik yang formal dan yang non-formal.
    4. Kebijakan-kebijakan personalia lembaga-lembaga keuangan dan mass media.
    5. Minat dan kebutuhan berbagai kelompok menuntut informasi keuangan, yang meliputi baik para ahli maupun para generalis.

Spesialisasi Masalah-masalah Umum

Wilayah spesialisasi PR yang terus berkembang ini melibatkan diri dalam berbagai perkembangan ekstern. Seperti dibidang ekonomi, kebudayaan dan kekuatan politik yang mungkin menpengaruhi pasar, permintaan untuk barang dan jasa permintaan spesialismi juga melibatkan usaha pemonitoran dan mempengaruhi, misalnya mendeteksi partai politik yang menghendaki dalam undang-undang. Selain itu mengevaluasi akibat-akibatnya, dan menghubungi para pencetus ide dan ahli hukum, dengan harapan dapat mengubah argument. Dan jika perlu, menggantikan setiap keputusan perundangan yang materialistis.

Dalam negosiasi, sebuah perusahaan multinasional harus menyadari persyaratan yang legal yang ditentukan wilayah setempat. Sedangkan spesialis masalah-masalah ekstern harus mampu mengidentifikasi sumber-sumber saran yang praktis dan tidak memihak. Dalam permainan bisnis internasional, tentu saja terdapat persaingan yang sangat keras. Karena itu para spesialis masalah-masalah internasional hendaknya dapat menentukan dengan tepat para pemainnya agar mereka mampu menyadari keanehan-keanehan yang terjadi dan cara menanggulanginya.

  1. Public Relation Non-Komersial

Disektor non-komersial terdapat berbagai jenis organisasi berbeda-beda. Hal ini diakui para konsultan PR internasional yang terkemuka. Kebanyakan staf ini berhubungan dengan sektor-sektor seperti lembaga-lembaga bantuan atau professional. Adapun beberapa PR non-komersial antara lain yaitu: Public Relation Pemerintah.

Teknik yang digunakan dalam PR di pemerintah tidak ada bedanya dengan teknik-teknik yang digunakan PR dibidang-bidang lainnya, yaitu teknik penyampaian informasi dan komunikasi.

Tingkat pengendalian biaya biasanya lebih besar dilakukan dibagian PR pemerintah. Sebab, setiap kegiatan dibiayai dan ditentukan berdasarkan perkembangan efektifitas biaya. Perkiraan penggunaan anggaran Negara dilakukan secara berhati-hati, bahkan setelah uang dibelanjakan dapat diperiksa kembali oleh komisi parlemen. Ataupun menjadi masalah khusus di parlemen.

Didalam melaksanakan PR di pemerintah perlu sekali diadakan penelitian-penelitian tentang opini publik terhadap instansi- instansi itu secara keseluruhan. Banyak instansi-instansi dan lembaga-lembaga pemerintah yang menjadi sorotan kaum politisi atau partai-partai politik. Pandangan mreka terhadap kebijaksanaan instansi-instansi pemerintah itu tentu didasarkan pada pandangan politik mereka masing-masing.

Tiap kegiatan pemerintah di negara demokratis banyak tergantung dari bantuan publik. Pemerintah akan mendapatkan tentangan-tentangan bila kepentingan publik tidak diperhatikan dan bila mereka tidak mendapatkan informasi-informasi tentang policy, rencana dan kegiatan-kegiatan lainnya. Seorang PR di instansi atau lembaga pemerintah tidak dapat ikut serta dalam menentukan kebijaksanaan pemerintah dan ia harus mengikuti garis yang sudah ditentukannya. Seorang PR pemerintah, barangkali akan menghabiskan waktu hanya untuk mempersiapkan tindakan yang kurang efektif. Sepeti mempersiapkan rencana-rencana guna menghadapi segala kemungkinan, sementara rancangan undang-undang masih dibahas oleh pemerintah atau parlemen meskipun kemudian tidak disetujui oleh parlemen.

Dalam rencana pembangunan dibidang ekonomi dan sosial perlu adanya kerja sama dengan publik, dengan seluruh penduduk, perlu adanya pengertian, kesedihan untuk menerima maksud dan tujuan rencana itu dan syarat-syarat dalam rencana itu. Oleh karne itu peranan PRini tidak dapat diremehkan.


Blogging and PR

The Difference

  • Pada blogging konvensional, setiap orang dapat menulis apa saja setiap saat.
  • Kondisi ini tidak cocok untuk tujuan public relations.
  • Dalam public relations, para praktisi harus membina hubungan dengan audiens kunci yang membantu organisasi mereka untuk tetap bertahan dan berhasil.

Roles of P.R.Practitioners

  • PR adalah juru bicara untuk pihak lain dan bukan untuk diri mereka sendiri. Mereka tidak punya kebebasan untuk berbicara atas nama perusahaan dan masalah pasar tanpa mengkonfirmasi dengan pihak yang memiliki kontrol langsung dalam bidang tersebut.
  • Seorang praktisi harus memperhatikan dengan hati-hati sebelum menulis sesuatu yang muncul dalam benaknya tanpa memunculkan ketepatan dan proporsi pada pernyataannya.

What P.R. Can do

  • Dimungkinkan bagi seorang praktisi PR untuk menerapkan kata-kata luar biasa yang akan diikuti secara antusias oleh audiens sasaran, namun jika secara individu terdapat kekeliruan, kredibilitas akan jadi masalah, termasuk juga karirnya.
  • Terdapat beberapa situasi di mana seorang praktisi PR meningkatkan hubungan dengan audiens dan penghargaan personal dengan menjadi seorang yang populer. Pada situasi ini –salah satu sisi blogging: the freedom to say anything – bisa dikompromikan ketika blog digunakan untuk keperluan public relations.
  • Kondisi ini membuat blogging untuk tujuan PR berbeda dengan personal blogging yang bisa dilakukan oleh orang lain.

Credibility and Accuracy

  • Kredibilitas adalah kunci bagi praktisi publc relations, baik secara internal dan eksternal.
  • Untuk praktisi yang menggunakan blog (disebut Bloggers), ketepatan merupakan sebuah beban yang harus ditanggung sendiri. Wartawan memiliki editor yang membantu. Bloggers tidak punya. Dia harus berhati-hati untuk memeriksa rujukan dan fakta yang digunakan sebelum menggunakannya dalam jurnal online.

5.08.2009

Membangun Citra Perusahaan Melalui Program CSR





CSR dan Citra Korporat
Dalam News Of PERHUMAS (2004) disebutkan, bagi suatu perusahaan, reputasi dan citra korporat merupakan aset yang paling utama dan tak ternilai harganya. Oleh karena itu segala upaya, daya dan biaya digunakan untuk memupuk, merawat serta menumbuhkembangkannya. Beberapa aspek yang merupakan unsur pembentuk citra & reputasi perusahaan antara lain; (1) kemampuan finansial, (2) mutu produk dan pelayanan, (3) fokus pada pelanggan, (4) keunggulan dan kepekaan SDM, (5) reliability, (6) inovasi, (7) tanggung jawab lingkungan, (8) tanggung jawab sosial, dan (9) penegakan Good Corporate Governance (GCG).
Arus globalisasi telah memicu dinamika lingkungan usaha ke arah semakin liberal, sehingga mendorong setiap entitas bisnis melakukan perubahan pola usaha melalui penerapan nilai-nilai yang ada dalam prinsip GCG, yakni: fairness, transparan, akuntabilitas dan responsibilitas, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik maupun sosial. Berdasarkan pertimbangan nilai dan prinsip GCG, maka dalam rangka meningkatkan citra dan reputasi dan sebagai upaya untuk menunjang kesinambungan investasi, setiap enterprise memerlukan tiga hal:
1. Adil (fair) kepada seluruh stakeholders (tidak hanya kepada shareholders).
2. Proaktif (juga), berperan sebagai agent of change dalam pemberdayaan masyarakat di daerah operasi.
3. Efisien, berhati-hati dalam pengeluaran biaya yang sia-sia terutama untuk penyelesaian masalah yang timbul dengan stakeholders fokus di sekitar daerah operasi.
Corporate Social Responsibility (CSR) telah diuraikan terdahulu bahwa sebagai suatu entitas bisnis dalam era pasar bebas yang sangat liberal dan hyper competitive, perusahaan-perusahaan secara komprehensif dan terpadu melakukan best practices dalam menjalankan usahanya dengan memperhatikan nilai-nilai bisnis GCG, termasuk tanggung jawab terhadap lingkungan, baik fisik (berkaitan dengan sampah, limbah, polusi dan kelestarian alam) maupun sosial kemasyarakatan. Tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan diejawantahkan dalam kebijakan Kesehatan Keselamatan Kerja & Lindungan Lingkungan (K3LL) dan program Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).
Berdasarkan sifatnya, pelaksanaan program CSR dapat dibagi dua, yaitu :
1. Program Pengembangan Masyarakat (Community Development/CD); dan
2. Program Pengembangan Hubungan/Relasi dengan publik (Relations Development/RD).
Sasaran dari Program CSR (CD & RD) adalah: (1) Pemberdayaan SDM lokal (pelajar, pemuda dan mahasiswa termasuk di dalamnya); (2) Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat sekitar daerah operasi; (3) Pembangunan fasilitas sosial/umum, (4) Pengembangan kesehatan masyarakat, (5) Sosbud, dan lain-lain.
Seminar “Corporate-Stakeholder Partnership: Toward Productive Relations” yang diadakan Lead Indonesia bekerjasama dengan Labsosio FISIP UI di Jakarta, 14 Juni 2005 (dalam www.lead.or.id, 2005), menyimpulkan beberapa hal berkaitan dengan pembentukan citra perusahaan yaitu: perlunya kemitraan, siapa saja stakeholders, tiga skenario kemitraan, prasyarat kemitraan yang sukses, dan peran pemerintah dan masyarakat. Pembahasan tersebut menunjukkan bahwa lingkungan bisnis dan sosial yang berubah menuntut perubahan paradigma dan tindakan. Dalam hal ini melihat semakin mendesaknya pengembangan kemitraan yang otentik dan produktif antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat untuk mencapai pembangunan yang adil serta berkelanjutan secara sosial dan lingkungan, berikut penjelasannya:
Mengapa Perlu Kemitraan
Kemitraan (partnership) antara korporasi dengan stakeholders menjadi suatu keharusan dalam lingkungan bisnis yang berubah. Pola konvensional ”business as usual” telah menghasilkan keadaan negatif seperti terdesaknya kepentingan publik (“enlightened common interests”), kelangkaan barang jasa publik, dan pencemaran lingkungan. Demikian pula berbagai dinamika sosial yang muncul seperti reformasi, demokratisasi dan desentralisasi menghasilkan stakeholders dan masyarakat yang semakin kiritis. Mereka berupaya meningkatkan taraf hidupnya serta memposisikan diri sebagai subyek dan mitra yang setara. Dalam hal ini, korporasi perlu menginternalisasi masalah eksternal perusahaan secara terencana sehingga dapat mencegah kekagetan dan krisis yang dapat mengancam keberlangsungan kegiatan dan keberadaan korporasi.
Kemitraan dapat menghasilkan solusi antara argumen yang menekankan market atau profit (“the business of business is business” yang memprioritaskan shareholders) dengan argumen moral (atau Corporate Social Responsibility atau CSR yang memperhatikan stakeholders). Dalam hal ini stakeholders termasuk lingkungan yang “diam” (“silent” stakeholders atau flora dan fauna ). Dengan kata lain, kemitraan merupakan suatu investasi—bukan cost—dan dapat menghasilkan win-win solution atau sinergi yang menghasilkan keadilan bagi masyarakat dan keamanan berusaha serta keserasian dengan lingkungan.
Siapa Saja Stakeholders
Kemitraan dengan stakeholders ini memerlukan kejelasan dengan definisi stakeholders itu sendiri: siapa saja mereka itu? Terdapat pendapat yang menyatakan pentingnya internal stakeholders dalam setiap perusahaan yakni karyawan yang juga merupakan primary stakeholders terutama dalam usaha manufacturing. Jenis usaha sektor lainnya lebih menekankan komunitas sekitar korporasi seperti dalam usaha ekstraktif (mineral dan tambang). Demikian pula konsumen dalam sektor jasa maupun suppliers dan usaha kecil (UKM) telah pula dipandang sebagai stakeholders. Dalam hal ini peran pemerintah lokal, kabupaten, propinsi dan nasional dianggap pula sebagai stakeholders yang penting.
Pendefinisian stakeholders penting karena dapat menghindarkan penyamaan atau penyederhanaan “Tanggung Jawab Sosial” (CSR) dengan “pengembangan komunitas” atau community development (CD) karena “CSR is beyond or more than CD.” Jelaslah bahwa CSR mencakup berbagai kegiatan yang mendukung Good Corporate Governance (seperti ketaatan membayar pajak) dan upaya pecapaian Good Corporate Citizenship. Dalam banyak kasus seringkali CD mendominasi CSR dan terjadi dalam industri ekstraktif dimana peran komunitas lingkungan yang sumberdaya alamnya merasa “terambil” memerlukan pendekatan khusus untuk mencegah konflik.
Hal yang sangat penting dalam kemitraan adalah data dan indikator maupun riset mengenai siapa saja dan aspirasi mereka (stakeholders’ map and dialogue). Sebagai contoh data mengenai komunitas, sumber daya air atau potensi UKM (Usaka Mikro Kecil dan Menengah) akan membantu mengoptimalkan kinerja kemitraan.
Tiga Skenario Kemitraan
Kemitraan antara perusahaan dengan stakeholders dapat mengarah ke tiga skenario: “un-productive,” “semi-productive,” atau “productive.” Skenario “un-productive” akan terjadi jika perusahaan masih berpikir degan pola konvensional yang hanya mengutamakan kepentingan shareholders atau paradigma “the business of business is business.” Dalam skenario ini situasi “low trust” terjadi dan tiada stakeholders engagement dimana mereka masih dianggap sebagai obyek dan masalah diluar perusahaan (“eksternalitas”) tidak diinternalisasikan. Dalam skenario ini kemitraan dapat saja terjadi namun lebih bersifat negatif dengan stakeholders negatif pula seperti oknum aparat atau preman. Berbagai keadaan negatif dapat terjadi misalnya pemogokan atau “slow-down” oleh buruh, boikot oleh konsumer, blokade oleh komunitas, dan pencemaran lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam dengan sewenang-wenang serta pelanggaran HAM komunitas lokal. Keadaan terburuk yang dapat terjadi adalah terhentinya kegiatan maupun keberadaan perusahaan.
Pola kedua adalah kemitraan yang “semi-produktif” yang bercirikan kepentingan jangka pendek dan belum atau tidak menimbulkan “sense of belonging” di pihak stakeholders. Kerjasama lebih mengandung aspek charity atau Public Relation (PR) dimana stakeholders masih lebih dianggap sebagai obyek. Dengan kata lain, kemitraan masih belum otentik (genuine) dan masih mengedepankan kepentingan diri (self-interest) perusahaan, bukan kepentingan bersama (common interests) antara perusahaan dengan stakeholders. Dengan kata lain, shareholders engagement masih disekitar tahap “low trust.”
Kemitraan yang “productive” dan otentik menekankan stakeholders sebagai subyek dan dalam paradigma “common interest.” Pola ini dapat saja didukung oleh “resource-based partnership” dimana stakeholders diberi kesempatan menjadi shareholders. Sebagai contoh, karyawan memperoleh saham melalui Employee Stock Ownership Program (ESOP), dan hal ini akan membantu kelancaran produksi. Demikian pula saham untuk komunitas atau pemerintah daerah dapat meningkatkan community security. Kasus Exxon di Blok Cepu menjadi menarik dimana Pemda Bojonegoro direncanakan akan memperoleh 10% saham. Keadaan ini menimbulkan “sense of belonging” dan high-trust serta hubungan sinergis antara subyek-subyek dalam paradigma “common interests.”
Ketiga skenario diatas dapat digunakan untuk menganalisis keberadaan kemitraan setiap perusahaan dan jelaslah terlihat bahwa stakeholders dapat saja lebih berperan mempengaruhi kehidupan perusahaan dibandingkan dengan shareholders. Dengan kata lain, dinamika saham (share) di bursa saham dapat sangat dipengaruhi oleh dinamika stakeholders di lapangan.
Prasyarat Kemitraan yang Sukses
Program kemitraan yang sukses atau “productive” dimulai dengan adanya kehendak yang kuat dan tulus dari pimpinan di perusahan dan kelompok stakeholders. Di pihak perusahaan, diperlukan adanya komitmen dari pimpinan perusahaan (CEO) yang berupaya tanpa henti untuk mengubah paradigma konvensionl (self-interest) ke paradigma baru (enlightened common interests). Kemitraan yang sukses dapat pula didorong oleh komisi atau panel independen (Kasus BP di Tangguh, Papua) yang berfungsi sebagai ombudsman dan melaporkannya pada pimpinan pusat perusahaan. Selain itu perlu meletakkan posisi unit yang mengatur kemitraan (CSR) dalam struktur yang cukup penting dalam perusahaan. Demikian pula staf unit CSR harus mempunyai kompetensi, pengalaman dan kecakapan sosial (social skills) dan bukanlah “orang buangan” di perusahaan. Mereka harus sensitif pada kebutuhan dan kondisi lokal termasuk menghormati simbol, nilai, situs sakral maupun keberadaan pemuka masyarakat. Mencapai kemitraan yang sukses berarti selalu mempelajari dan mengambil manfaat dari berbagai kasus yang gagal atau sukses (best practices) di masa lalu. Selain itu perlu pula sosialisasi pada perusahaan yang masih belum sadar atas pentingnya kemitraan dan CSR.
Peran Pemerintah dan Masyarakat
Keberadaan dan peran perusahaan tidaklah terlepas dari peran pemerintah dan masyarakat. Dalam hal ini peran pemerintah sebagai penjamin keamanan dan penegak hukum serta menciptakan iklim bisnis yang kondusif akanlah sangat menentukan dalam keberlanjutan hidup perusahaan. Selain itu pemerintah dituntut untuk melakukan intervensi pasar melalui pajak, subsidi untuk mendorong penggunaan renewable resources, pengembangan eco-efficiency serta kebijakan distribusi resources yang mengindahkan equity. Pemerintah juga diharapkan untuk berinisiatif membentuk forum stakeholders sebagai wadah kemitraan yang disertai kegiatan dan indikator kinerja yang nyata. Seperti juga perusahaan yang dituntut untuk melakukan CSR maka pemerintah harus pula memenuhi political accountability terhadap warga negara pemberi mandat. Saat ini terdapat pro kontra jika pemerintah daerah kurang berfungsi dan mendorong perusahaan (terutama dalam industri ekstraktif) menjadi quasi government. Di satu pihak, hal ini akan menurunkan kewibawaan dan peran pemerintah namun di lain pihak hal ini merupakan upaya pembelajaran dalam pencapaian good governance. Salah satu ujian penting dari kinerja pemerintah adalah mensukseskan pelaksanaan otonomi daerah dan pemilihan kepala daerah sehingga mendukung segitiga kemitraan dengan perusahaan dan masyarakat.
Demikian juga masyarakat mempunyai peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintah dengan perusahaan. Masyarakat diharapkan menjadi aktif dan mengkoreksi dampak pembangunan, menyampaikan aspirasi publik serta dinamisator keberdayaan publik. Dalam hal ini masyarakat harus dapat pula mengatasi anggotanya yang berperilaku negatif (bad elements of civil society) dengan pembuatan aturan perilaku (code of conducts). Pemberian “mandat sosial” bagi perusahaan untuk beroperasi hendaknya didukung pula oleh “proteksi sosial.” Hal ini akan semakin mendesak jika terjadi pemberian saham yang dapat saja menimbulkan konflik di dalam masyarakat sendiri. Dengan kata lain, good governance perlu dikembangkan pula di masyarakat selain di pemerintah dan perusahaan.
Kebijakan Publik untuk CSR
Petkoski dan Twose (2003) mengatakan walaupun agenda CSR saat ini sedang didewasakan, istilah “CSR” belum mengambil banyak peran di sektor publik, baik di negara industri atau negara berkembang. Sebagian pemerintah yang berinisiatif melakukannya dijuluki sebagai “pro-CSR initiatives”, meskipun begitu banyak orang sudah mendukung secara efektif promosi tentang tanggung jawab sosial yang lebih besar. Sebagai contoh, perangsang utama aktivitas sektor publik yang mempromosikan barang ekspor dan barang-barang pendukung atau jasa cukuplah untuk mendapat tambahan devisa, tapi mereka masih mempunyai dampak positif dengan memberi harapan bertanggung jawab produksi.
Para agen sektor publik yang tidak menggunakan ungkapan “corporate social responsibility” tidak melakukan kegiatan apa pun. Tantangannya adalah mengidentifikasi prioritas dan inisiatif dalam kaitan dengan pembangunan lokal dan nasional berdasar pada kapasitas dan inisiatif. Ada satu kesempatan penting bagi sektor publik di negara berkembang untuk memanfaatkan gairah “CSR” sekarang ini, sepanjang berada dalam tujuan dan prioritas kebijakan publik dan mendorong pengakuan keduanya.
Perhatian yang bertumbuh seiring dengan potensi prioritas sektor publik dan CSR pada aktivitas bisnis, paling sedikit mengenai sosial dan praktik manajemen lingkungan ke hulu industri ekstraktif. Hal ini menerima tanpa bukti: bagaimana mungkin kebijakan publik dirumuskan untuk memperkuat kesejajaran, sedangkan kepastian itu menghasilkan intervensi keduanya ‘optimal’––baik untuk bisnis dan development––dan ‘feasible’––dalam batasan hubungan kelembagaan para agen sektor publik dan pengarah nilai bisnis. Tabel yang dirumuskan World Bank di bawah ini memberikan gambaran potensi kesejajaran antara CSR dalam praktek bisnis serta kebijakan dan tanggungjawab sektor publik.
Penerapan CSR yang Lebih Strategis
Aryani (2006) mencatat bahwa konsep dan praktik CSR sudah menunjukkan gejala baru sebagai keharusan yang realistis diterapkan. Para pemilik modal tidak lagi menganggap sebagai pemborosan. Masyarakat pun menilai sebagai suatu yang perlu. Hal ini terkait dengan meningkatnya kesadaran sosial kemanusiaan dan lingkungan. Di luar itu, dominasi dan hegemoni perusahaan besar sangat penting peranannya di masyarakat. Kekuasaan perusahaan yang semakin besar, sebagaimana dinilai Dr David Korten, penulis buku When Corporations Rule the World melukiskan bahwa dunia bisnis, selama setengah abad terakhir, telah menjelma menjadi institusi yang paling berkuasa di jagad ini.
Bahkan pengamat globalisasi Dr Noorena Herzt (dalam Aryani, 2006) berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan besar di berbagai negara telah mengambil alih secara diam-diam kekuasaan politik dari kalangan politisi. Pengambilalihan secara diam-diam (the silent take over) ini terjadi karena kian ketatnya produk hukum yang menuntut tanggungjawab sosial kaum pemodal. Akibatnya, menurut Noorena, pemodal harus masuk dalam dunia politik agar tidak terus terpojok dengan tuntutan politik pemerintah dan masyarakat. Bahkan menurut Noorena, dalam satu dasawarsa terakhir ini, peranan CSR perusahaan besar sangat berperan di masyarakat ketimbang peranan institusi publik (negara). Memang pada kenyataannya kita tidak bisa mengelak perubahan mendasar dunia sebagaimana dikatakan Noorena tersebut. Dunia telah menjelma realitas di mana kapitalisme menjadi panggung yang absah bagi kehidupan kita. Berpijak pada reel kapitalisme global inilah seluruh tanggung jawab kehidupan umat manusia harus selalu mempertimbangkan kepentingan para pebisnis. Pertimbangan bukan berarti harus tunduk, melainkan harus saling menjaga kepentingan.
Kapitalisme dikatakan Aryani (2006) tidak identik dengan pengerukan modal tanpa pertimbangan sosial. Bahkan untuk era baru sekarang ini, kapitalisme hanya bisa berkembang baik jika bersinergi dengan dunia sosial. Sejalan dengan itu, masyarakat modern sudah menjauh dari sikap anti kapitalisme. Ideologi, baik sosialisme maupun kapitalisme sudah menjauh dari imajinasi orang. Hanya saja karena kapitalisme telah menjadi realitas, maka jalur kehidupan masyarakat mau tidak mau harus melewati reel kapitalisme. Kini orang menyadari bahwa yang terpenting bukanlah ideologi, melainkan sikap kompromi untuk menemukan jalan terbaik. Karena itu, pemerintah tidak boleh tunduk oleh kaum pemodal, sebagaimana kaum pemodal tidak boleh tunduk oleh politisi. Rakyat, pemerintah dan pemodal harusnya berada dalam pihak yang setara merumuskan strategi kebijakan publik untuk kepentingan bersama. Di negara kapitalis, penciptaan ruang publik yang demikian itu sudah berjalan. Bahkan peranan CSR perusahaan sangat menguntungkan pemodal. Pemerintah juga untung karena selain mudah melobi pembayaran pajak juga terbantu tanggungjawab sosialnya kepada rakyat miskin.
Pakar pemasaran Craig Semit (dalam Aryani, 2006) yang merintis pendekatan baru CSR yang dia sebut The Corporat Philanthropy berpendapat bahwa kegiatan CSR harus disikapi secara strategis dengan melakukan alighment (penyelarasan) inisiatif CSR yang relevan dengan produk inti (core product) dan pasar inti (core market), membangun indentitas merek (brand indentity), bahkan lebih tegas lagi untuk menggaet pangsa pasar, melakukan penetrasi pasar, atau menghancurkan pesaing. Kegiatan CSR yang diarahkan memperbaiki konteks korporat inilah yang memungkinkan alighment antara manfaat sosial dan bisnis dari kegiatan CSR yang muaranya untuk meraih keuntungan materi dan keuntungan sosial dalam jangka panjang. CSR tidak haram dipraktikkan, bahkan dengan target mencari untung. Yang terpenting adalah kemampuan menerapkan strategi. Jangan sampai karena CSR biaya operasional justru menggerogoti keuangan. Jangan pula karena praktik CSR masyarakat justru antipati.